Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah untuk melakukan langkah antisipasi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih mengalami pelemahan dan bertengger di level Rp 16.400 an. Said mengatakan, jika dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah malah minus 5,25 persen. "Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal. Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN)," kata Said kepada wartawan, Selasa (18/6/2024).
Menurutnya, investor asing melepas SBN sejak pandemi covid 19. Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen. "Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan USD juga kian menurun," ujar Said. Penyebab lain, kata Said, harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara dan CPO atau minyak kelapa sawit pada 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022.
"Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini harga batubara hanya di kisaran 120 an USD/ ton. Padahal, awal kuartal II 2022 hingga kuartal I 2023 harga batubara di level 400 USD/ton," ucapnya. Arsenal Siapkan Tawaran Tukar Tambah Marc Guehi untuk Kalahkan Man Utd dan Liverpool di Transfer Banjarmasinpost.co.id Di sisi lain, harga CPO tidak seperti tahun 2022, yakni 4.200 4.400 Ringgit/ton. Sedangkan, kini hanya 3.800 3.900 Ringgit/ton.
Said menjelaskan, menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini tidak membuat dompet devisa negara tebal. Saat yang sama, dia menyebut bahwa pemerintah membuka kran impor yang juga menyebabkan sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil gulung tikar dan merumahkan karyawannya. Dari sisi eksternal, perekonomian AS perlahan makin membaik sejak badai inflasi di tahun 2022. Dia berkata, penguatan perekonomian AS membuat investor memilih meninggalkan Indonesia yang berakibat pada hilangnya pundi pundi devisa baru.
"Akibat situasi di atas, tahun lalu saja current account Indonesia defisit 1,6 USD Billion. Bahkan food trade deficit Indonesia pada tahun 2023 menyentuh 5,3 USD Billion, angka tertinggi selama republik ini berdiri," ucap Said. Said juga mengingatkan pemerintah tak terlena dengan data inflasi rendah di level 3 persen. Sebab, inflasi rendah tidak bisa dibaca sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat.
Menurutnya, jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022. "Survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi di tahun 2020 sampai sekarang belum pulih masih di level 51,8 – 57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran 150 – 240. Data ini memperlihatkan, daya beli rakyat sedang tidak baik baik saja," jelas Said. Karenanya, Said meminta seluruh komponen bangsa mengikatkan tali gotong royong untuk menghadapi situasi ini.
"Pemerintah harus mampu meningkatkan kepercayaan rakyat. Ucapan dan tindakan pemerintah dan pemimpin nasional harus bisa menjadi keteladanan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat. Tragisnya, menghadapi situasi sulit, para pemimpin dan elit politik makin centang perenang," tegasnya. Dia berharap pemangku kebijakan menyampaikan keadaan seobyektif mungkin, tanpa membuat komunikasi publik seakan Indonesia sedang baik baik saja. Dari sisi teknokratis, Said meminta pemerintah harus memastikan tata kelola devisa hasil ekspor sumber daya alam berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa.
Kemudian, melakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh. Sebab, aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dolar AS. "Artinya, peluang ini perlu terus dijaga oleh pemerintah dan BI," ungkap Said.
Said juga meminta pemerintah memperketat kebijakan impor, terutama pada sektor yang menggerus devisa dan memukul sektor industri serta tenaga kerja. "Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut," tegasnya. Pemerintah, kata dia, perlu memastikan SBN untuk menarik investor asing dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.
"Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan APBN," ucap Said. Menurutnya, berbagai kebijakan BI yang mengurangi USD sebagai pembayaran internasional, dengan membuat sejumlah local currency swab belum terlihat hasilnya. Untuk itu, dia menyebut BI perlu memastikan kebijakan itu sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan terhadap USD perlahan dikurangi.
"Pemerintah dan Bank Indonesia perlu antisipasi kebutuhkan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, agar tidak makin membebani sektor keuangan," imbuh Said.